BEBAS bukan hanya esensial bagi manusia, melainkan juga
perdagangan–yang di Tanah Air saat ini menjadi isu hangat. Walaupun
masalah keberlakuan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) tahun ini sudah
banyak dibahas, PR masih menumpuk, terutama dalam menyiapkan renegosiasi
perjanjian yang mendasari pembentukan daerah perdagangan bebas itu,
yakni Agreement on Trade in Goods of the Framework Agreement
Comprehensive Economic Cooperation antara negara-negara ASEAN dan
Republik Rakyat China (RRC) itu. Selain berbagai aspek teknis, paling
kurang ada dua aspek lain yang masih perlu dicermati, yaitu tentang
perdagangan bebas sendiri dan peranan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Tentang yang pertama, mengapa perlu konsep perdagangan bebas? Karena
itu merupakan salah satu obat untuk menghidupkan kembali ekonomi dunia,
setelah kehancuran akibat Perang Dunia II. Perdagangan bebas yang
ditetapkan pada daerah tertentu, yakni free trade area (FTA) didasarkan
atas pemikiran bahwa barang yang bisa secara efisien dan ekonomis
diproduksi di negara A akan diekspor ke negara B. Sebaliknya, B juga
akan melakukan hal yang sama untuk barang lain dan karena itu akan
meraup pasar di A. Dalam hal demikian, tarif bea masuk harus dikurangi,
kalau tidak dieliminasi.
Dalam kaitan dengan institusi perdagangan, yang kemudian dikenal
dengan General Agreement on Tariffs and Trade yang lahir dari konferensi
di Bretton Woods 1947 itu, negosiasi selanjutnya menghasilkan WTO 1994,
yang praktis diikuti semua negara di dunia ini. Konsep perdagangan
bebas menjurus ke integrasi ekonomi seperti North American FTA, atau Uni
Eropa untuk merujuk beberapa contoh utama. Akan adakah semacam Asian
Common Market? Masih jauh, seperti tulis The Economist, 6 Februari lalu:
“Regional economic integration has a long, long way to go.”
Yang jelas, Indonesia telah menandatangani perjanjian pembentukan
ACFTA di atas sejak 2005 dan sebagai negara berdaulat dan bermartabat
tidaklah mudah bagi kita untuk menarik diri lagi, walaupun kemungkinan
itu selalu ada. Oleh karena itu, tepatlah sikap pemerintah, misalnya
seperti diungkapkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu bahwa
Indonesia tetap menghormati ACFTA. Perkara tak siap, itu bukan hanya
masalah Indonesia. Dalam edisi sebelumnya majalah berwibawa itu menulis:
“For all that, not everyone in South East Asia is happy. Many firms
fear Chinese competition.” (The Economist, 15 Jan, 2010). Maklumlah, RRC
tambah meraksasa saja secara ekonomi.
Geo dan geo
Kedua, dalam kaitan dengan penguatan posisi kita menghadapi sistem
perdagangan bebas, yang tampaknya belum banyak diungkapkan adalah
pengembangan secara komprehensif konsep kawasan ekonomi khusus
(KEK)–yang lahir dengan UU 39/2009 (UU KEK) itu. Sebab KEK, menurut UU
itu, ‘dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan
geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan
industri, ekspor, impor… Yang memiliki… Daya saing internasional.’
Semuanya demi ‘mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu..
bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan
kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional.”
KEK terdiri dari berbagai zona yang mengkhususkan diri untuk, antara
lain: pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi,
pariwisata, dan energi. Dewasa ini memang sudah ada antara lain kawasan
berikat (bonded zones), export processing zone, dan kawasan industri
yang di dalamnya terdapat sarana usaha kecil serta bangunan pabrik
standar seperti di Pulogadung, Jakarta, dan Rungkut, Surabaya. Yang
terbesar adalah Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun
(KPB BBK).
Karena KEK berkaitan dengan ruang, pembangunannya perlu memperhatikan
kesesuaian dengan rencana tata ruang dan kawasan lindung setempat.
Maklumlah, sekarang dunia sudah awas betul dengan perubahan iklim
(climate change). Selain itu, KEK tentu saja mesti dekat dengan jalur
perdagangan internasional serta gampang mendapatkan sumber daya sebagai
bahan produksi.
KEK dibentuk atas usul badan usaha yang berminat, bisa juga oleh
pemerintah daerah, ditujukan kepada otoritas KEK di pusat, disebut Dewan
Nasional. Kalau disetujui, dewan itulah yang kemudian akan menyampaikan
rekomendasi pembentukan KEK kepada Presiden RI. Fase berikut adalah
pembangunan dan pengoperasian KEK. Badan usaha tadi, jika usulnya
diterima, akan melaksanakan pembangunan KEK. Paling lambat tiga tahun
setelah terbentuk, KEK sudah harus beroperasi.
Kunci utama KEK adalah pada berbagai fasilitas dan kemudahan. Itu
sejalan dengan UU Penanaman Modal 2007 (UU PM)-รข€“yang memang merupakan
dasar pembentukan KEK. Sejauh kemudahan dalam hal pertanahan, kita belum
lupa dengan putusan Mahkamah Konstitusi 2008, yang membatalkan sebagian
Pasal 22 UU PM karena pasal itu memberikan masa hak pertanahan
sekaligus bersama dengan masa perpanjangannya. Jadi sekarang masa hak
tanah itu tetap berdasarkan UU Agraria 1960.
Jangan salah, kemudahan dalam hal pertanahan tidak berkaitan dengan
harganya. Beberapa tahun lalu, pernah ada investigasi dari Departemen
Perdagangan AS ke kawasan industri di Pulogadung karena menduga tanah
yang dipergunakan para investor di situ dijual lebih murah daripada
harga pasar di luar kawasan. Kalau begitu, pihak AS menyangka telah
terjadi subsidi.
Di samping pertanahan, fasilitas lain yang amat lazim ialah antara
lain perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak serta retribusi daerah,
perizinan, keimigrasian, dan investasi. Dalam hal fiskal, UU itu
menyatakan adanya fasilitas di bidang pajak penghasilan (PPh), juga
tambahan fasilitas PPh sesuai dengan zona dalam KEK. Bagi investor dapat
diberikan pengurangan PBB selama jangka waktu tertentu.
Namanya kawasan khusus, perlakuan impor pun juga mesti spesial.
Penangguhan bea masuk pun ditawarkan, pembebasan cukai untuk bahan baku
atau bahan penolong produksi, tidak dipungutnya PPN atau PPnBM untuk
barang kena pajak, dan tidak dikutipnya PPh impor dan lain-lain skema
fasilitas fiskal.
Dalam kaitan dengan pemerintah daerah, intinya juga sama, keringanan
atas pajak daerah dan retribusi daerah. Selama ini urusan dengan
pemerintah daerah banyak dikeluhkan investor. Oleh karena itu,
keharmonisan hubungan dengan daerah ini pun masuk perjanjian pembentukan
ACFTA itu.
Sudah kesohor
Kemudahan keimigrasian dijamin di KEK. Idem ditto dengan pengurusan
perizinan usaha. Urusan yang satu itu memang ditekankan di KEK. Bukankah
kritik investor asing pada aspek ini masih keras? Yang juga penting,
khusus untuk investasi asing, di KEK tak berlaku apa yang selama ini
dikenal sebagai Daftar Negatif Investasi BKPM–kecuali untuk bidang yang
secara khusus dicadangkan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Investor asing pun boleh mencatat ini: izin tenaga kerja asing untuk
direksi dan komisaris cukup diberikan sekali saja. Di luar manajemen,
tenaga kerja harus TKI–hal yang wajar saja. Namun, kalau mau seirama
dengan ritme KEK, seyogianya karyawan di sini mesti yang berkualitaslah,
biar ampuh ‘bertanding’.
Tidaklah sukar menggambarkan KEK. Sebab sudah ada KPB BBK, meneruskan
kiprah yang telah dimulainya sejak pra-UU KEK. Pantaslah, menghadapi
ACFTA, Ismeth Abdullah, Ketua Dewan KPB BBK, berkomentar ringan: “Kita
paling siap menghadapinya karena produksi kita 95% ekspor.” (Antara, 30
Desember 2009).
KEK juga menyediakan sarana bagi UMKM. Lepas dari penzonaan, mungkin
relevan pula usul Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Erwin
Aksa, untuk membentuk gugus industri unggulan khusus.
Langsung ataupun tidak, konsep perdagangan bebas telah merangsang
kebangkitan ekonomi regional–ditandai dengan pembangunan KEK di beberapa
negara. Shenzhen, daerah RRC di utara Hong Kong, merupakan special
economic zone (SEZ) yang sudah kesohor. Kamboja, Laos, dan Vietnam juga
tidak ketinggalan mempersiapkan SEZ. Kehadiran KEK di Indonesia pun
tidaklah lepas dari cakrawala demikian.